sumber : http://ayamherbal.wordpress.com/2011/06/
Orang sering kali menggolongkan ayam
potong menjadi dua, ayam broiler dan ayam kampung. Padahal, di pasaran
banyak jenis ayam potong yang ditawarkan. Di antara jenis-jenis itu ada
yang berpenampilan mirip, padahal berbeda. Kalau tidak jeli, bisa-bisa
salah pilih.
Kalau saja termasuk penggemar belanja di pasar swalayan, Anda tentu
akan melihat semakin ramainya jenis ayam potong yang ditawarkan. Semula
yang ditawarkan ayam ras, belakangan ayam kampung pun ikut serta hadir
di pasar ber-AC ini. Bahkan jangan terkejut, bila tampil pula daging
ayam yang hitam legam.
Ayam potong tadi memiliki keragaman usia. Ada yang umurnya cuma 45
hari, ada pula yang sudah lansia dengan umur sampai 720 hari. Namun,
jangan kaget bila bobotnya sama saja.
Nah, supaya tidak salah pilih ada baiknya mengenali dulu jenis ayam
potong yang ditawarkan. Masing-masing, tentu saja, memiliki ciri-ciri,
keunggulan, dan kegunaan berbeda.
Penghuni “hotel berbintang”
Di antara berbagai jenis ayam potong ayam broiler memang paling populer.
Sesuai sebutannya, broiler, ayam ini khusus untuk dipanggang. Yang
terjadi kemudian, jenis ayam potong ini sering juga digoreng atau malah
disop. Padahal, cara memasak itu kurang tepat. Kalau disop misalnya,
aroma lemaknya yang sangat keras mengalahkan aroma bumbunya. Terkadang
bau ini tidak menyenangkan.
Broiler selalu ditawarkan dalam bentuk karkas, yakni ayam yang telah
disembelih dan dibului, tanpa kaki, leher, kepala dan jeroan. Dia tidak
pernah ditawarkan dalam bentuk hidup. Soalnya, jenis ini termasuk ayam
yang mudah loyo dan mati.
Ayam broiler merupakan hasil rekayasa genetika dengan cara
menyilangkan sanak saudara. Mula-mula sekelompok ayam dalam satu
keluarga dikawinkan. Keturunannya dipilih yang tumbuh cepat. Di antara
mereka disilangkan kembali. Keturunannya diseleksi lagi yang cepat
tumbuh dan dikawinkan sesamanya. Demikian seterusnya hingga diperoleh
ayam yang paling cepat tumbuh yang disebut broiler tadi. Ayam ini mampu
membentuk 1 kg daging atau lebih cuma dalam tempo 30 hari.
Biasanya ayam broiler dipanen setelah umurnya mencapai 45 hari. Bobot
badan ayam seusia itu 1,5 – 2,5 kg.
Bandingkan dengan ayam kampung yang
pada umur sama bobotnya cuma 200 g. Si cepat tumbuh ini tak pernah
dipelihara lebih dari 60 hari. Pasalnya, setelah itu dia sudah tak
efisien lagi membentuk daging. Kalau diteruskan, keuntungan peternaknya
malah turun.
Karena masih muda, dagingnya sangat empuk. Bahkan, tulang-tulangnya pun mudah hancur bila digigit.
Selama dipelihara, dia dilayani bak tamu hotel berbintang lima. Pakan
dan minumnya dikirim langsung ke kamar yang berisi ratusan ekor.
Sementara, dia cuma makan tidur-makan tidur. Dengan cara begitu, dia
bisa tumbuh secara efisien karena pakannya sebagian besar untuk
membentuk daging dan sedikit sekali digunakan untuk bergerak.
Jadi, tidak benar anggapan broiler digemukkan secara paksa dengan
memberinya hormon atau zat perangsang. Yang perlu diwaspadai justru
kemungkinan adanya residu antibiotik dalam daging broiler. Ayam macam
begini biasanya dihasilkan peternak nakal atau tak mau tahu, yang
memberinya antibiotik berlebihan dan tidak dihentikan beberapa hari
sebelum dipanen.
Seharusnya, antibiotik boleh diberikan dalam jumlah terbatas untuk
merangsang pertumbuhan dan mencegah penyakit. Untuk menghindari
mendapatkan daging broiler beresidu antibiotik, perlu dipertimbangkan
untuk berbelanja di pasar swalayan yang dapat menjamin produknya tidak
tercemar.
Ayam kampung naik gengsi
Kekhawatiran orang akan adanya residu antibiotik, hormon, atau bahan
kimia dalam tubuh ayam broiler tercermin dari semakin menurunnya
konsumsi daging broiler per kapita di seluruh dunia. Sebaliknya,
popularitas ayam kampung atau buras (bukan ras) jadi meningkat.
Pasalnya, jenis ayam kampung dipercaya dipelihara secara alami. Ini
tentu cocok bagi mereka yang ingin bergaya hidup alami dengan
mengkonsumsi bahan pangan alami.
Ayam kampung ini pun berhasil menerobos monopoli broiler di pasar
swalayan. Kemasannya dibuat sama cantiknya dengan kemasan broiler.
Bedanya, karkas ayam buras terlihat lebih kurus, dagingnya lebih tipis,
dan bobotnya kurang dari 1 kg. Penawaran karkas ayam buras juga
dilengkapi dengan leher, kepala, dan kakinya. Kadang-kadang juga
disertakan jeroannya. Gara-gara perbedaan cara penawaran ini, dugaan
orang akan adanya kandungan hormon, yang membuat orang mandul, pada
kepala broiler semakin kuat. Padahal itu tidak benar.
Penawaran karkas
broiler tanpa kepala sebenarnya menyesuaikan dengan standar
internasional, karena kebanyakan orang modern enggan makan kepala ayam.
Apalagi, jeroan atau cekernya. Sementara, penawaran karkas ayam kampung
disesuaikan dengan selera orang Indonesia yang kebanyakan gemar makan
kepala dan kaki ayam.
Sayangnya, ayam kampung ditawarkan dengan harga lebih mahal ketimbang
ayam broiler, meskipun biaya pemeliharaannya tak semahal ayam broiler.
Ini gara-gara dulunya, saat ayam broiler belum ngepop, makan ayam
merupakan gaya hidup orang kaya (terutama) di daerah urban. Sedangkan
untuk membawa unggas pribumi penghasil daging ini dari desa ke kota
bukanlah pekerjaan gampang. Risiko kematian atau sakit di perjalanan
cukup besar. Untuk menanggung risiko akibat mati atau sakit itu, harga
jualnya jadi mahal. Ini berlangsung terus hingga sekarang.
Ayam buras yang digemari umumnya berumur 4 – 6 bulan dengan bobot
karkas 0,7 – 1 kg. Pada umur itu dagingnya masih lunak dan tulangnya
manis. Aromanya tidak merangsang dan rasanya sangat gurih. Ayam ini
cocok untuk segala macam masakan, baik untuk digoreng, disop atau
digulai.
Di antara ayam buras, ada satu jenis ayam buras yang “aneh”. Ayam
Cemani namanya. Namun, penjualan karkas ayam ini masih sangat sedikit.
Tak semua pasar swalayan menyediakannya. Ini lantaran, daging ayam
Cemani masih belum biasa dihidangkan sebagai lauk. Seorang petugas pasar
swalayan terkemuka menjelaskan, penjualan daging ayam Cemani
semata-mata untuk tujuan pengobatan asma. Soal kebenaran khasiat
tersebut, masih perlu penelitian.
Ayam ini memiliki ciri warna serba hitam. Dari bulu, kulit, kaki, dan
daging. Bahkan, darahnya pun berwarna hitam. Karena itulah, ayam ini
dianggap banyak orang mengandung mistik.
Ayam potong yang petelur
Ayam potong lainnya yang cukup umum dipasarkan dan nomor tiga terkenal
setelah broiler dan buras adalah ayam petelur apkir. Kelompok ayam ras
ini semula mengabdi kepada manusia sebagai penghasil telur yang biasa
diceplok mata sapi atau didadar. Setelah 12 – 18 bulan menjalankan tugas
dan produktivitasnya mulai menurun, mereka memasuki masa purnabakti.
Pada masa pensiun itu mereka dikaryakan lagi oleh peternaknya sebagai
ayam potong. Akhirnya, setelah masuk ke markas besar penjagal ayam,
predikat mereka menjadi purnawirawati dan jasad mereka jadi hidangan
meja makan.
Bentuk badan ayam kelompok ini segi tiga. Bagian perutnya besar dan
penuh lemak. Kulit dan kakinya kuning. Warna ini menandakan dagingnya
manis. Karenanya, pedagang yang pintar sering mewarnai karkas yang
berwarna pucat atau putih dengan cairan kunyit atau pewarna makanan agar
calon pembeli tertarik. Tapi rasa dagingnya tetap saja hambar.
Daging pensiunan ayam petelur ini mirip dengan ayam kampung berumur 4
bulan. Cukup liat. Namun, tak terlalu alot, karena meski tua selama
hidup ayam ini selalu terkurung dalam kandang berukuran 60 x 30 cm,
sehingga geraknya amat sedikit. Lemaknya beraroma cukup merangsang.
Tulangnya keras dan kaya sumsum.
Karkas mantan petelur ini cocok untuk disop atau digoreng. Namun, kalau mau digoreng, sebaiknya direbus dulu supaya lebih empuk.
Tentu saja, pensiunan ayam petelur tadi berjenis kelamin betina.
Dalam perjalanan hidupnya, ayam petelur biasanya dipilah-pilah antara
yang jantan dan betina ketika baru menetas. Tentu saja yang betina
dipilih untuk dipelihara menjadi petelur, sebelum akhirnya dikaryakan
sebagai pedaging. Lalu, yang jantan? Di Indonesia umumnya ayam petelur
jantan tetap dipelihara dan dipromosikan sebagai ayam potong yang bukan
pedaging. Di luar negeri anak ayam petelur jantan dibunuh dan diolah
menjadi tepung pakan ternak.
Ayam petelur jantan ini biasanya dipelihara hingga cukup besar, cukup
untuk menghasilkan karkas 600 – 700 gr. Karkasnya memang tak semontok
karkas broiler. Ia lebih mirip ayam buras. Apalagi kalau sudah digoreng
atau dimasak dengan cara lain.
Sayangnya, pasar swalayan masih enggan menawarkan karkas petelur
jantan, karena masih belum umum. Lagi pula harganya relatif murah. Yang
biasa menginginkan karkas ini biasanya pengusaha restoran yang enggan
membeli ayam buras lantaran mahal.
Nah, sekarang tinggal calon pembelinya saja yang mesti teliti sebelum membeli. (Dr. Ir. Yusmichad Yusdja)